People fear death even more than pain. It's strange that they fear death. Life hurts a lot more than death. At the point of death, the pain is over. Yeah, I guess death is a friend ... There are things known and things unknown and in between are the doors. ~ Jim Morrison ~
Media sosial menggoda orang untuk merasa "harus" mengomentari segala sesuatu, merasa perlu menunjukkan keberpihakan dengan berbagai risikonya. Karenanya kadang ada yang bertanya kepadaku karena merasa aku sekarang tak banyak peduli: "Mengapa engkau tak lagi seperti dulu awal-awal bermain di medsos -- rajin bertengkar mengenai banyak hal" . Sejak dua atau tiga tahun terakhir banyak yang terjadi dan setiap orang berubah, atau dipaksa berubah oleh kekuatan yang berada di luar kendalinya. Aku memang tak lagi berminat menyatakan semua hal yang ada di pikiranku. Hanya hal-hal tertentu yang kunyatakan, sekadarnya saja. Dalam suatu waktu aku pernah bertemu seseorang, yang setiap kali kuajak berbicara tentang keburukan orang lain, atau menghakimi orang lain atau peristiwa, ia selalu berusaha menghindar dan membelokkan arah pembicaraan ke hal-hal yang remeh-temeh. Setelah beberapa waktu aku mendesak dia dengan pertanyaan-pertanyaan mengapa ia tak peduli dan tak menunjukkan keberpihakan apapun atas situasi yang semakin ruwet. Ia hanya diam saja, hingga akhirnya kuketahui ia ternyata sibuk mengajar anak-anak kecil. Kegigihanku ngeyel tentang sikapnya membuahkan hasil pada suatu kala. Ia berkata, seingatku kira-kira begini, meski tak persis benar:
"Aku selalu gagal menjaga hubungan baik dengan Tuhanku. Karenanya aku selalu merasa malu kepada-Nya. Aku tak ingin menambahi catatan amalku dengan kata-kata yang tak perlu, kata-kata yang harus kupertanggungjawabkan kelak. Tentu benar aku tak bisa menyenangkan semua orang, tetapi aku harus berusaha sesedikit mungkin menyakiti hati orang dan merugikan orang lain. Aku telah memilih jalanku sendiri, jalan semacam ini. Migunani tumraping liyan (berguna bagi orang lain) dan tak pernah tertarik menunjukkan apapun kepada orang. Ya, orang bilang aku lemah, tetapi itulah pilihanku. Orang lain terserah mau bagaimana menjalani hidup. Aku hanya tak ingin bertengkar tentang hal yang tak perlu, hal-hal yang bukan urusanku. Aku hanya ingin kelak jika pulang ke tanah keabadian, aku tak banyak membawa hal-hal yang harus kupertanggungjawabkan di depan Tuhan dan di depan orang lain. Bayangkan jika aku pernah menyakiti orang di media sosial, lalu belum sempat minta maaf lalu aku atau orang lain mati lebih dahulu. Bagaimana aku mesti mempertanggungjawabkannya? Jika aku yang salah, amalku yang cuma sedikit dan tak sempurna ini akan diambil oleh orang yang pernah kusakiti. Lalu Apa yang tersisa pada diriku jika aku menyakiti banyak orang secara viral di media sosial? Aku hanya ingin hidup lalu pulang dengan sederhana, tanpa gegap-gempita. Itulah jalan yang kupilih. Aku lelah bertengkar."
Pertemuanku dengannya, membuatku kehilangan minat bertengkar. Amal ibadahku atau hablum minallah yang kujalani sungguh berantakan, lalu bagaimana mungkin aku menambah beban dengan membawa pulang hal-hal yang tak kuperlukan dan malah menambah beban hisab? Aku hanya ingin seperti beliau, berharap pulang dengan beban catatan kesalahan sesedikit mungkin, mendapat syafaat Kanjeng Nabi dan ampunan dari-Nya. Amiin.
Saat itu aku merasa berhadapan dengan seseorang yang sudah siap pulang. Ia Sepertinya menghayati benar makna kehidupan dan kematian. Entahlah, wa Allahu a'lam. tetapi percakapan-percakapan dengannya mengingatkanku pada maut yang barangkali pernah menjawilku sedikit, 20 tahun yang lalu...
[Status Facebook Triwibowo Budi Santoso]