Wednesday, October 19, 2016

BERSIAP UNTUK PULANG

grafik detak jantung
People fear death even more than pain. It's strange that they fear death. Life hurts a lot more than death. At the point of death, the pain is over. Yeah, I guess death is a friend ... There are things known and things unknown and in between are the doors. ~ Jim Morrison ~

Media sosial menggoda orang untuk merasa "harus" mengomentari segala sesuatu, merasa perlu menunjukkan keberpihakan dengan berbagai risikonya. Karenanya kadang ada yang bertanya kepadaku karena merasa aku sekarang tak banyak peduli: "Mengapa engkau tak lagi seperti dulu awal-awal bermain di medsos -- rajin bertengkar mengenai banyak hal" . Sejak dua atau tiga tahun terakhir banyak yang terjadi dan setiap orang berubah, atau dipaksa berubah oleh kekuatan yang berada di luar kendalinya. Aku memang tak lagi berminat menyatakan semua hal yang ada di pikiranku. Hanya hal-hal tertentu yang kunyatakan, sekadarnya saja. Dalam suatu waktu aku pernah bertemu seseorang, yang setiap kali kuajak berbicara tentang keburukan orang lain, atau menghakimi orang lain atau peristiwa, ia selalu berusaha menghindar dan membelokkan arah pembicaraan ke hal-hal yang remeh-temeh. Setelah beberapa waktu aku mendesak dia dengan pertanyaan-pertanyaan mengapa ia tak peduli dan tak menunjukkan keberpihakan apapun atas situasi yang semakin ruwet. Ia hanya diam saja, hingga akhirnya kuketahui ia ternyata sibuk mengajar anak-anak kecil. Kegigihanku ngeyel tentang sikapnya membuahkan hasil pada suatu kala. Ia berkata, seingatku kira-kira begini, meski tak persis benar:

"Aku selalu gagal menjaga hubungan baik dengan Tuhanku. Karenanya aku selalu merasa malu kepada-Nya. Aku tak ingin menambahi catatan amalku dengan kata-kata yang tak perlu, kata-kata yang harus kupertanggungjawabkan kelak. Tentu benar aku tak bisa menyenangkan semua orang, tetapi aku harus berusaha sesedikit mungkin menyakiti hati orang dan merugikan orang lain. Aku telah memilih jalanku sendiri, jalan semacam ini. Migunani tumraping liyan (berguna bagi orang lain) dan tak pernah tertarik menunjukkan apapun kepada orang. Ya, orang bilang aku lemah, tetapi itulah pilihanku. Orang lain terserah mau bagaimana menjalani hidup. Aku hanya tak ingin bertengkar tentang hal yang tak perlu, hal-hal yang bukan urusanku. Aku hanya ingin kelak jika pulang ke tanah keabadian, aku tak banyak membawa hal-hal yang harus kupertanggungjawabkan di depan Tuhan dan di depan orang lain. Bayangkan jika aku pernah menyakiti orang di media sosial, lalu belum sempat minta maaf lalu aku atau orang lain mati lebih dahulu. Bagaimana aku mesti mempertanggungjawabkannya? Jika aku yang salah, amalku yang cuma sedikit dan tak sempurna ini akan diambil oleh orang yang pernah kusakiti. Lalu Apa yang tersisa pada diriku jika aku menyakiti banyak orang secara viral di media sosial? Aku hanya ingin hidup lalu pulang dengan sederhana, tanpa gegap-gempita. Itulah jalan yang kupilih. Aku lelah bertengkar."

Pertemuanku dengannya, membuatku kehilangan minat bertengkar. Amal ibadahku atau hablum minallah yang kujalani sungguh berantakan, lalu bagaimana mungkin aku menambah beban dengan membawa pulang hal-hal yang tak kuperlukan dan malah menambah beban hisab? Aku hanya ingin seperti beliau, berharap pulang dengan beban catatan kesalahan sesedikit mungkin, mendapat syafaat Kanjeng Nabi dan ampunan dari-Nya. Amiin.

Saat itu aku merasa berhadapan dengan seseorang yang sudah siap pulang. Ia Sepertinya menghayati benar makna kehidupan dan kematian. Entahlah, wa Allahu a'lam. tetapi percakapan-percakapan dengannya mengingatkanku pada maut yang barangkali pernah menjawilku sedikit, 20 tahun yang lalu...

[Status Facebook Triwibowo Budi Santoso]

Monday, October 17, 2016

COPET

Saya kadang geli kalau mendengar slogan dalam Pilgub atau sejenisnya: "Mari kita bertarung program." Atau: "Ini ajang kontestasi gagasan."

Anda bisa cek di lembaga-lembaga survei, di nomor berapakah para pemilih meletakkan sesuatu yang namanya 'program' atau 'gagasan'. Kalau mereka mau jujur, maka kita bakal bilang: tembelek. Tidak ada. Itu hanya omongan kaum intelektual yang ingin mencoba menyelamatkan demokrasi kita, atau karena begitulah buku teks tentang demokrasi langsung.

Pertama dan utama, pemilih memilih seseorang karena uang dan atau sejenisnya. Apa itu sejenisnya? Misalnya: sumbangan tempat ibadah dan fasilitas umum lain. Selain itu dorongan kelembagaan dan komunitas. Makanya SKPD penting dalam pemilihan macam ini. Lembaga-lembaga yang mengakar kuat juga sangat penting. Di keluarga (komunitas terkecil) memang ada perbedaan preferensi pilihan, tapi yang jarang diungkap adalah justru dari keluargalah salah satu sumber preferensi itu muncul. Selain itu baru kemudian 'prejengan' (citra visual dan kehadiran ke publik secara langsung).

Maka itu, kemenangan balon mensyaratkan satu hal: tim kemenangan yang kuat.

Banyak orang salah sangka karena mereka berpikir cara mudah menang adalah dengan uang. Politik uang itu memang ada. Nyata. Tapi bukan berarti gampang dilakukan. Itu yang menjelaskan kenapa bupati dengan modal 20 miliar menang melawan bupati dengan modal 50 miliar. Mereka pikir bagi-bagi uang itu mudah. Padahal susahnya setengah mati. Ada yang uangnya berhenti di timsesnya, ada yang dimakan sendiri oleh tokoh masyarakat yang dipercaya membagikan, ada yang diuntal sendiri oleh koordinator kampung, ada yang salah sasaran, dll.

Orang yang bilang bahwa pilgub atau pilbup adalah soal adu program dan kontestasi gagasan, itu menggelikan. Tapi kalau ada orang yang bilang politik uang adalah cara mudah untuk menang, juga ngaco. Dia pikir bagi-bagi uang itu gampang.

Maka itu, mau caranya halal, mau haram, satu yang pasti: tim pemenangan harus kuat, dan sistemnya harus baik. Tanpa itu, uang yang dibagikan langsung maupun untuk menjalankan kegiatan, bakal ditilep dan dicopet.

Di Indonesia, memang jumlah copet berkurang. Tapi copet di bus Pilkada makin banyak. Maka tidak heran, sesama copet kadang bercanda, "Kamu itu goblok, balon gak bawa dompet kok mau kamu copet..."

Atau ada juga yang bilang, "Kamu salah milih bus. Memang benar dompet calonmu tebal, tapi busnya sudah penuh copet."

Nah, yang lucu, orang-orang yang tulus membantu karena kesamaan visi, walaupun jumlahnya gak banyak, ikut kecopetan pula. Begitu mereka kecopetan, pilihannya ada dua: ikut nyopet, atau turun dari bus sambil teriak, "Kopet!"

[Status Facebook Puthut EA]

Tuesday, September 27, 2016

PUNAHNYA PENGETAHUAN

Gedung sekolah rusak dapat mengancam jiwa. Tapi pengetahuan yang musnah, juga tak kalah berbahaya. Di kelas jauh SD Sabeugunggung, Pagai Utara, Kepulauan Mentawai ini, Pak Guru Leisa Saogo mengaku tak mendapati perubahan kurikulum atau muatan lokal terkait ancaman bencana untuk diajarkan kepada anak didiknya.

Pengetahuan soal bencana ia berikan atas inisiatif sendiri dan bahan-bahan dari para relawan. Termasuk lagu-lagu.

Dulu, orang Mentawai memaknai gempa (siang hari) sebagai pertanda datangnya musim buah-buahan. Masyarakat tak kenal konsep tsunami. Tak ada istilah lokal untuk tsunami meski Mentawai termasuk daerah rawan bencana dan tsunami sebelumnya tercatat tahun 1871. Padahal, sebagian wilayah seperti pulau Pagai Selatan dan Utara mengenal istilah gu'gu' (ombak besar).

Namun karena pengetahuan ini tak "diawetkan", setelah peristiwa gempa dan smong (tsunami) Aceh, media dan para relawan seolah membawa "pengetahuan baru" tentang tsunami.

Pengetahuan baru itu di antaranya mengajarkan: bila terjadi gempa besar dan lama (sampai orang dewasa tidak sanggup berdiri), lalu air laut surut, maka warga harus berlari ke bukit dan menjauhi pantai karena 10-15 menit kemudian, akan datang gelombang besar.

Setelah enam tahun hidup dengan pengetahuan baru dari Aceh itu, tibalah pada 25 Oktober 2010, jam 9 malam. Gempa singkat dan guncangan dirasakan biasa. Televisi yang sedang menyiarkan sinetron, tidak lagi memberikan alarm "breaking news" atau "stop press" tentang potensi tsunami. Sebagian warga tetap menonton TV.

Lima menit kemudian --bukan 10-15 menit seperti di Aceh-- tsunami dari Samudra Hindia menyapu desa-desa di pesisir barat. 426 orang tewas karena tak sempat melarikan diri. Dusun Sabeugunggung, asal Pak Guru Leisa, adalah kampung yang paling banyak korban, termasuk putrinya yang berusia 2 tahun.

Pengetahuan baru tentang tsunami segera direvisi karena karakter Mentawai berbeda dengan Aceh atau daerah lain. Tak ada lagi rumus baku. Kini setiap ada gempa, semua memilih lari ke bukit, ada atau tidak ada peringatan potensi tsunami dari pemerintah dan televisi. Bahkan mereka yang tinggal di Muara Siberut (pantai timur) dan secara teori tidak menghadapi langsung ancaman "megathrust".

Namun setelah 6 tahun, negara dan barisan intelektual lewat sistem pendidikannya, tak segera merumuskan dan mengawetkan pengetahuan dan pengalaman ini. Tapi ini tidak hanya di Mentawai.
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mendefinisikan "tsunami" sebagai gelombang besar "yang umumnya terjadi di Jepang". Sangat memprihatinkan.

17 Februari 1674, gempa dan tsunami telah terjadi di Ambon dan Seram yang menewaskan 2.322 orang. Jumlah korban yang fantastis mengingat rasio kepadatan penduduk dibanding saat ini. Adakah pengetahuan yang diawetkan atau istilah lokal untuk ini?

Agustus 1883, saat Krakatau meletus, juga diikuti tsunami di Selat Sunda hingga Teluk Betung, Bandar Lampung. Adakah pengetahuan dan istilah lokal yang diawetkan lewat strategi kebudayaan kita?

1907, pulau Simeulue di Aceh juga disapu tsunami. Pengalaman ini diawetkan dalam istilah smong dan menjadi nyanyian. Dampaknya sudah sering dikisahkan. Ketika terjadi tsunami 2004, Aceh daratan kehilangan ratusan ribu jiwa, sementara pulau Simeulue yang terletak di tengah samudra kehilangan 6 jiwa saja.

Entah mengapa, para ahli bahasa tak kunjung menyerap istilah lokal untuk memberi tekanan psikologis pada kepentingan mitigasi bencana bahwa tsunami bukan barang impor dari Jepang. Tsunami ada dan dekat bersama kita sepanjang sejarah Nusantara. Bandingkan dengan kelincahan melokalkan istilah-istilah IT seperti "mouse" menjadi "tetikus" atau "e-mail" menjadi "surel". Atau di dunia politik dari "incumbent" menjadi "petahana".

Tahun 1980-an, warga Dusun Asahan di pulau Pagai Utara, Mentawai, pernah didatangi seorang peneliti asing dan mengingatkan warga setempat tentang ancaman datangnya gelombang besar, jauh sebelum peristiwa Aceh atau peringatan dari para ahli kita tentang ancaman "Mentawai atau Sumatra Megathrust".

Warga lokal --seperti dituturkan seorang pria asal Dusun Purourogat bernama Erdiman yang kami temui-- saat itu mengindahkan peringatan tersebut dengan mengalokasikan sebuah bukit untuk evakuasi. Bukit itu ditanami tanaman pangan untuk persiapan pengungsian. Bukit itu diberi nama Leuleu Gu'gu' artinya "gunung ombak besar", yang memang dipersiapkan untuk menghadapi tsunami.

Setelah peristiwa Aceh 2004, pemerintah NKRI mendorong relokasi warga dusun Asahan ke lokasi lain untuk berjaga-jaga. Tapi bukan ke bukit yang sudah mereka siapkan sendiri.

Ini juga contoh bagaimana pengetahuan lokal yang susah payah berusaha diawetkan oleh warga, diabaikan begitu saja tanpa memberi alternatif sistem pengetahuan baru.

Sepekan keluar masuk pedalaman Mentawai, saya terus diyakinkan bahwa negara ini memang senang memelihara ingatan pendek yang memusnahkan pengetahuan. Bukan memeliharanya. Bahkan meski itu menyangkut pengetahuan tentang hidup dan mati warganya.

[Status Facebook Dandhy Dwi Laksono]

BELAJAR GITAR

Voja, anak kelas 1 SMA itu, sudah lebih sebulan ikut kursus gitar. Gurunya seorang gitaris ternama, dan Voja beruntung, karena dia adalah murid pertama dan satu-satunya yang bisa disebut sebagai murid gitaris itu. Bagi Voja, ikut kursus gitar itu sebetulnya agak terlambat jika dibandingkan dengan kursus yang sama yang pernah saya ikuti. Saya ikut kursus gitar saat kelas 6 SD meskipun hingga kelas 3 SMP, dan hingga sekarang, saya hanya mampu memainkan satu lagu: Love Hurt-nya Nazareth dengan kunci G, E minor, C dan D itu. Tak ada yang lain, dan hanya kunci-kunci itu yang saya tahu, yang saya hafal.

Untungnya Voja berbeda dengan saya. Hanya dalam waktu dua-tiga minggu, dia sudah menguasai kunci-kunci dasar. Dan sejak melihat Voja memegang gitar, gurunya tampaknya tahu, dia memang anak berbakat, dan karena itu, dia bersedia menjadi guru gitar Voja. Jari-jari Voja memang lentik dan lebih lembut dibandingkan jari-jari saya yang penulis. Mirip jari-jari anak perawan.

Beberapa hari yang lewat, Voja bercerita, guru gitarnya bertanya tentang “target” lagu yang akan dia mainkan di kursus pekan depan. Voja menjawab akan memainkan Buried Alive dan gurunya agak kaget mendengar judul lagu itu. Kata gurunya, lagu itu cukup susah bagi pemula sebab banyak memainkan kunci-kunci minor, tapi dia mempersilakan Voja untuk mencoba, dan Voja tentu saja tidak alang kepalang senang akan diberi kesempatan memainkan lagu Avenged Sevenfold itu.

Problemnya: Dia tak punya gitar. Selama kursus, dia hanya menggunakan gitar milik gurunya di tempat kursus. Gitar-gitar dari merek-merek ternama, yang niscaya bagus kualitas bahan baku dan juga suaranya. Tapi tak punya gitar, tak mengurangi minat Voja untuk belajar gitar. Gurunya juga melarang saya untuk tidak kesusu membelikan Voja gitar karena menurutnya, “bakat” Voja belum ketahuan benar untuk memegang gitar jenis apa: CS40 atau C80; saya tidak mengerti.

Lalu dua hari lalu, Voja mengajak saya agar menemaninya membeli gitar di gerai yang disebut oleh gurunya bila Voja atau saya hendak membeli gitar. Saya terperangah, dan tentu saja, itu bukan karena soal kemauan Voja untuk membeli dan punya gitar sendiri, melainkan karena tanggal-tanggal seperti sekarang adalah tanggal-tanggal yang tanggung bagi penulis semacam saya sebab honor-honor tulisan saya belum akan dibayarkan. Tapi sekali lagi, Voja berbeda dengan saya, dan dia tahu, problem saya.

“Tenang Pa, Voja ada uang.”

“Darimana?”

“Ngumpulin dari uang saku yang diberi Papa.”

Setiap pagi, bila hendak bersekolah, saya hanya menitipkan uang saku 20 ribu untuk Voja. Uang yang saya perkirakan cukup untuknya membeli makan siang di sekolahnya. Lalu kepada saya, dia bilang punya uang dari hasil mengumpulkan sisa uang saku sekolahnya, dan dengan uang itu akan dia belikan gitar?

Ya Allah. Saya tak berpikir panjang dan segera mengiyakan ajakannya. Kami berencana membeli gitar besok malam. Dan sebagai pengisi waktu latihan menghadapi kelas gitar pekan depan, malam ini Voja hanya berlatih bernyanyi Buried Alive sembari menyebut kunci-kunci permainan gitarnya.

“Kenapa kamu ingin memainkan lagu itu, Vo?”

“Suka aja. Kenapa, Pa?”

“Kenapa tidak lagu Rhoma Irama saja?”

“Ah, Papa...”

Voja nyengir. Saya terkekeh. Menjelang dia tidur, saya mendengar dari kamarnya mengalun lagu Carry on My Wayward Son milik grup band Kansas. Saya mengenalkan lagu itu sejak Voja masih bersekolah SD. Lagu yang bercerita agar orang tidak cengeng, tak perlu menangis, tak perlu sok bijak, tak perlu sok jaim.

Lay your weary head to rest, Vo. Don't you cry no more. Surely heaven waits for you.

[Status Facebook Rusdi Mathari]

Sunday, September 18, 2016

MOURINHO YANG MENYEDIHKAN!

Bagi kebanyakan penggemar sepakbola, Mourinho bisa jadi adalah bintang. Termasuk saya. Dia muncul dari pinggir panggung yang redup dengan karakternya yang kuat, kecerdikannya yang tajam, dan pesonanya yang terang.

Soal prestasi, sudahlah. Mou, bahkan ketika mendaku dirinya sendiri sebagai The Special One pun langsung diamini oleh pers dan pecandu olahraga sepak dan sundul ini. Tapi akhir-akhir ini, Mou kehilangan pesonanya. Karakternya luntur. Dia hampir saja kehilangan semua hal yang membuat fans sepakbola di penjuru dunia dahulu begitu memujanya.

Sebetulnya apa sih yang spesial dari Mou? Kepiawaiannya dalam meracik taktik? Ada terlalu banyak pelatih sepakbola yang juga hebat. Dan hampir semua pelatih jika direkrut kesebelasan besar untuk menukangi, kemampuan itu wajib adanya. Jadi bukan itu semata. Kemampuannya dalam menyusun pemain? Dalam dunia sepakbola yang makin industrialis, puluhan klub dengan ratusan pemain, sesungguhnya semua ada di level yang tak jauh amat bedanya. Terutama jika para pemain itu ada pada kesebelasan-kesebelasan kaya. Semua hampir setara. Kehebatannya dalam membuat drama saling lempar ejekan? Ah, semua pelatih besar sangat terlatih untuk hal begituan. Sama kayak politikus kita. Itu hal yang secara 'kultural' akan tumbuh bersama mereka.

Jadi apa yang sebetulnya spesial dari seorang Mou? Bagi saya, dia memiliki apa yang saya sebut sebagai 'kijang bidikan'. Kalau Anda menggeluti ilmu kepemimpinan, ada satu manuver pemimpin yang jarang diambil karena risikonya terlalu berat: menjadi kijang bidikan.

Ketika organisasi Anda dalam masalah yang berat, ketika kekalahan atau kekeliruan sedang menimpa anak buah Anda, sementara musuh dan publik menyorot itu dengan lampu yang teramat benderang, maka Anda harus keluar dari sebuah gerumbul, bagaikan seekor kijang. Para pemburu yang sudah mengepung pasukan Anda dengan semua senjata yang ada, segera mengalihkan fokus. Mengejar Anda. Memburu Anda. Ingin membunuh Anda. Ingin menumpas Anda. Dan Anda harus terima risiko itu. Untuk kemudian membiarkan pasukan Anda kembali menemukan waktu jeda, menemukan diri mereka kembali, memperbaiki kesalahan, menempa diri lagi, bertarung lagi. Menjadi kuat. Dan makin kuat.

Begitu mereka sudah kuat lagi, saatnya Anda masuk ke gerumbul lagi. Biarkan anak buah Anda menerima sorotan atas prestasi mereka.

Dulu, Mou melakukan itu. Ketika pers dan publik hendak membunyaki para pemain dan kesebelasannya, dia muncul di panggung dengan sorot lampu yang terang. Mencibir. Membuat kegaduhan. Menjadikan dirinya sebagai kijang bidikan. Di saat yang sama, para pemainnya merasa aman, segera memperbaiki diri, lalu berprestasi. Mou, lebih dari sekadar pelatih. Lebih dari seorang yang terlatih membuat drama. Dia siap mengorbankan dirinya sampai habis.

Tapi semenjak musim lalu, Mou tampil menyedihkan. Dia buang aib kesebelasannya ke pubik, dia melakukan konfrontasi terbuka dan melebar ke para pemainnya, orang-orang yang seharusnya dipimpinnya. Hingga semua berakhir dengan antiklimaks: Mou terusir. Dia bukan lagi keluar sebagai 'kijang bidikan' yang molek dan memancing para pemburu. Dia tak lebih dari harimau budukan yang berjalan gontai dan sekarat, dan hanya dikejar oleh ribuan lalat.

Semua orang berharap, ketika Mou kemudian berlabuh ke Manchester United (MU), bahkan para 'haters' MU pun berharap Mou kembali menemukan jatidirinya. Sebab urusan sepakbola bukan melulu soal menyepak kulit bundar dan menyarangkannya ke dalam gawang.

Tapi apa yang terjadi setelah MU mengalami tiga kekalahan beruntun? Mou menyalahkan nasib, menyalahkan wasit, dan menyalahkan pemainnya. Menyedihkan sekali.

Kalau seperti ini terus terjadi, Mou bukan hanya akan terusir dari MU. Tapi juga dari panggung sepakbola. Panggung yang sekalipun menjadi makin industrialis dan kapitalis, tapi suportivitas dan sekian nilai yang dirindukan manusia, akan terus berusaha dipelihara dan dijaga martabatnya.

Kamu ada apa, Mou? Ayolah!

[Status Facebook Puthut EA]